Kamis, 22 Desember 2011

Mengurangi Takaran & Timbangan (Plus Mengoplos): Korupsi dan Dosa Besar Masyarakat Kecil yang diabaikan



Setelah lebih dari 10 tahun era reformasi di Indonesia, kasus korupsi masih merupakan persoalan pelik untuk diberantas. Bahkan modus operandi korupsi seperti layaknya disiplin ilmu manajemen yang merupakan seni yang sangat dinamis. Jadi, kemampuan para koruptor untuk berkorupsi juga semakin canggih, bahkan selangkah lebih maju dibandingkan pemberantasannya.
Sekarang cobalah kita alihkan perhatian kita sejenak dari pemberitaan pertarungan antara pemberantas korupsi dengan para koruptor. Cobalah acuhkan sebentar perhatian kita dari headline-headline berita tentang kriminalisasi pimpinan KPK, kasus century, dan korupsi pajak yang dilakukan Gayus Tambunan yang saat tulisan ini dibuat  ditenggarai akan menyeret oknum-oknum di instansi lain. Sekarang, cobalah alihkan pandangan kita para kehidupan masyarakat di sekitar kita.
Jika tiap akhir pekan anda sempat melihat sebuah segment dalam sebuah acara berita di satu televisi swasta, tentu anda akan mengetahui banyaknya kasus-kasus kecurangan dalam perniagaan masyarakat kecil. Banyak kasus yang membuat kita sedikit bergidik, contohnya saja kasus daging glonggong, yakni daging sapi atau ayam yang disuntik dengan air agar beratnya bertambah. Belum lagi Daging Sapi yang dioplos dengan daging celeng , saus tomat yang dioplos pepaya busuk, ikan yang dicampur formalin. Jika dirunut lagi maka akan ditemui tindakan-tindakan yang semakin membahayakan para konsumen seperti kosmetik atau obat-obatan palsu yang membahayakan penggunanya.
Sekarang marilah kita sedikit masuk dalam ranah pembahasan agama. Mungkin Dosa mengurangi takaran dan timbangan adalah DOSA BESAR yang sering diabaikan. Dosa ini masih “kalah pamor” atau tenggelam dengan dosa besar lainnya seperti menyekutukan Allah, membunuh, atau dosa riba yang aplikasinya masih menjadi perdebatan. Dalam Al-Qur’an, perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan sekaligus larangan keras untuk mengurangi takaran atau timbangan menjadikan pelanggaran terhadapnya menjadi sebuah dosa besar. Salah satu kaum yang pernah terkena azhab Allah karena sering berbuat curang mengurangi takaran dan timbangan adalah kaum Nabi Syuaib A.s. Kaum Nabi Syuaib A.s disebut kaum Madyan. Dikisahkan dalam Al-Qur’an, setelah Kaum Madyan menolak seruan Nabi Syuaib untuk menyempurnakan takaran dan timbangan, mereka malah berolok-olok untuk disegerakan azhab Allah. Maka azhab itu benar-benar datang (kisah ini dapat dilihat di Al-Qur’an Surat Huud ayat 83-95).
Mengacu kenapa mengurangi takaran dan timbangan digolongkan sebagai dosa besar, padahal tampaknya manifestasinya tidak terlalu besar seperti membunuh , dalam hal ini cukup saja kita mengkaitkan sifat manusia yang serakah dan akan semakin meningkat keserakahannya seiring dengan menuruti hawa nafsunya. Sekarang lihatlah, jika seseorang bisa melakukkan penipuan kecil-kecilan dengan mengurangi takaran atau timbangan yang dengan itu dia bisa mendapatkan margin keuntungan beberapa waktu. Lalu semakin lama ia bisa mencurangi takaran barang dengan bagian bahan yang lain. Lalu bayangkan jika barang itu adalah bahan makanan yang dioplos dengan bahan yang berbahaya. Selanjutnya, anda bisa menilai, seberapa besar kekacauan dan kejahatan yang membesar itu, apa lagi itu sudah menjadi perbuatan sebuah kaum yang besar dan semakin merebak ke masyarakat. Sungguh, Allah Maha Mengetahui tentang apa-apa yang tidak kita ketahui sebelumnya.
Jika kita kembali lagi membahas masalah korupsi, maka perbuatan-perbuatan yang baru saja kita bahas adalah manifestasi dari korupsi yang dilakukan lapisan masyarakat menengah ke bawah. Apalah bedanya dengan para koruptor kelas kakap. Menurut saya pribadi, hampir tak ada beda atau mungkin lebih bahaya dampaknya. Jika mereka mengatasnamakan kesulitas dalam ekonomi, maka kita harus kembali dalam ranah agama dan keimanan. Bahwa semua manusia diuji sesuai dengan perannya masing-masing. Orang dengan jabatan dan kekayaan diuji dengan jabatan dan kekayaan itu untuk amanah dan bersedekah, maka begitu pula dengan seorang miskin yang diuji dengan kekurangannya itu untuk tetap mencari rezeki yang halal dan baik dengan membawa kesabarannya.
Jika memang seluruh lapisan bangsa ini  bersama-sama “kompak” melakukan korupsi, maka memang jalan kita untuk keluar dari lingkaran ‘setan” kekacauan setelah era reformasi ini masihlah panjang. Semoga tulisan ini bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar