Kamis, 22 Desember 2011

Kartu Kredit: Rentenir Legal Vs Maling Hutang



Dulu, saat dunia perbankan di Indonesia belum mengalami deregulasi perbankan. Produk-produk perbankan masih sedikit dan masih bisa dihitung dengan jari. Deferensiasi antar produk perbankan hampir tidak ada. Namun sejak deregulasi perbankan digulirkan, maka bank bisa lebih leluasa untuk menciptakan kreasi terhadap produk-produknya. Lemahnya pengawasan yang dilakukan otoritas moneter membuat produk-produk perbankan dan variasinya menjadi tak terbendung.
Kartu kredit dengan serta merta menjadi produk perbankan yang sangat populer. Bahkan setiap produk antar bank mengklaim memiliki kelebihan plus daripada produk lainnya. Pada secara aspek mendasar dan isinya adalah sama: menawarkan hutang tanpa jaminan dan menyiapkan bunga berbunga yang siap menjerat pemakainya. Jadi kartu kredit adalah sebuah manifestasi dan reinkarnasi dari rentenir yang dilegalkan, dan bahkan lebih kejam dari rentenir biasa. Kenapa lebih kejam? Karena bank melakukan persuasi agar pemakai kartu kredit membayar dengan cicilan minimum saja dan mendorong untuk sering memakainya. Tujuannya jelas agar pokok hutang plus bunga yang siap untuk dibungakan lagi akan menjadi besar dan besar. Pemakai kartu kredit yang sekali memakai langsung melunasinya justru tidak disukai, karena tidak menghasilkan tagihan yang besar. Rayuan manis di awal pemakaian kartu kredit dengan serta merta berbelok haluan menjadi kalimat kasar yang penagih hutang (debt collector). Lebih parah lagi sekarang sudah legal pula outsource penyedia jasa layanan penagihan hutang bermuka bengis dan kasar yang disewa bank untuk mengintimidasi pihak terhutang atau keluarganya agar membayar jeratan hutang yang telah berjumlah tidak masuk akan karena suburnya “bunga maut” kartu kredit tersebut.
Jika memang kartu kredit merupakan rentenir legal yang siap menjerat mangsanya, lalu pertanyaannya apakah pemakai kartu kredit secara umum adalah orang yang tidak sadar akan jeratan/jebakan kartu kredit? Sama sekali tidak. Kebanyakan pemakai kartu kredit adalah seseorang yang mengambil kesempatan dalam kemudahan berhutang. Lemahnya kontrol persetujuan pembuatan kartu kredit serta celah yang bisa dimanfaat adalah peluang emas bagi “maling hutang” ini. Dalam internal bank penyedia kartu kredit, sudah tidak dipungkiri terjadi dikotomi kepentingan  yakni kepentingan marketing yang berusaha mendapatkan pelanggan dengan berbagai cara , dan kedua adalah kepentingan keamanan/control terhadap pelanggan. Maling hutang yang pandai akan melakukan deal dengan marketing kartu kredit yang juga ingin mendapat point dari banyaknya pelanggan baru. Dengan data diri yang dimanipulasi serta merta kartu kredit itu sudah jadi dan siap untuk dipakai dan dengan mudah lari dan menghilang saat penagih hutang bingung mencarinya. Dan selanjutnya kejahatan itu akan terus dilakukan di berbagai bank.
Lihatlah, kekacauan yang terjadi akibat keseralahan manusia dan sistem  yang jelas-jelas menghalalkan manusia untuk mengumbar keserakahannya. Yang menjadi pertanyaan, dalam ranah agama Islam. Sudah sangat jelas bahwa kartu kredit sudah masuk dalam kategori riba Nasi’ah (bunga berbunga) yang sudah tidak diperdebatkan lagi dimasukkan dalam kategori riba yang dimaksud dalam Al-Qur’an. Namun Ironi, trend dan gaya hidup telah banyak membuat kita lupa dan berpaling akan ajaran  Allah, Dzat yang telah menyempurnakan Islam agar manusia selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Jika ingin selamat di dunia dengan perekonomian yang makmur, apalagi nanti juga di akhirat, lalu kenapa kita tidak serta merta mengaplikasikan sistem ekonomi yang telah diajarkan oleh Sang Pencipta kita, yakni ekonomi (syariah) Islam? Manusia memang makhluk yang pandai untuk beralasan ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar